SELAMAT DATANG DI LIFE STYLE.com

Sabtu, 26 Juni 2010

HIV AIDS

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Masa remaja adalah waktu dimana seseorang harus membentuk perilakunya. Kadang dalam membentuk perilaku itu perlu dukungan dari orang tua. Tidak hanya orang tua lingkungan juga mempunyai peranan penting. Kebanyakan para remaja sekarang memamfaatkan waktu luangnya dengan hal-hal yang tidak bermanfaat, seperti mabuk-mabukan, seks bebas, narkoba. Hal itu biasanya dipengaruhi oleh lingkungan yang buruk. Hal itu juga yang dapat meningkatkan penularan virus HIV di kalangan remaja. Bayangkan saja jika remaja sekarang banyak tertular HIV apa yang akan terjadi pada dunia. Dunia kita sekarang akan hancur karena virus yang sangat mematikan. Peradaban di dunia akan hancur total. Karena meningkatnya penularan HIV dikalangan remaja disebabkan oleh tingginya tingkat perilaku seks bebas dan konsumsi narkoba yang diawali dengan pergaulan bebas.

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang terkena virus ini akan menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena tumor. Jadi virus ini menyebabkan dapat menyebabkan melemahnya sistem imun yang ada pada tubuh manusia sehingga manusia akan gampang terserang penyakit. Namun biasanya orang yang terserang virus HIV ini sering menderita tumor. Tumor ini biasanya akan semakin ganas dan tidak bisa dikendalikan lagi sehingga tumor biasanya akan cepat berkembang kebagian tubuh yang lain.

Human Immunodeficiency Virus (HIV), merupakan suatu nama yang berdasarkan konvensi yang telah diterima pada tahun 1986. Sebelumnya virus ini dinamai untuk pertama kalinya sebagai Lymphadenopathy-associated virus (LAV) atau Human T-lympotropic virus type III (HLTV-III). Berdasarkan penelitian analitik perbandingan dari LAV dan HTLV-III, telah terbukti bahwa kedua jenis virus tersebut merupakan anggota dari golongan yang sama, yaitu HIV-1 dan dengan ini pula etiologi AIDS telah ditetapkan secara resmi. Virus HIV bersifat limfotropik khas dan mempunyai kemampuan untuk merusak sel darah putih spesifik yang disebut limfosit T-hepler atau limfosit pembawa faktor T4 (CD4). Virus ini dapat mengakibatkan penurunan jumlah limfosit T-hepler secara progresif dan menimbulkan imodefisiensi serta untuk selanjutnya terjadi infeksi sekunder atau oportunistik oleh kuman, jamur, virus, dan parasit serta neoplasma. Sekali virus HIV menginfeksi seseorang, maka virus itu akan tetap berada dalam tubuh korban seumur hidup. Badan penderita akan mengadakan reaksi terhadap invasi virus HIV dengan jalan membentuk antibodi spesifik, yaitu antibody HIV, yang agaknya tidak dapat menetralisasi virus tersebut denagn cara-cara yang biasa, sehingga penderita akan tetapa merupakan individu yang infektif dan merupakan bahaya yang dapat menularkan virusnya kepada orang lain di sekelilingnya. Kebanyakan orang yang terinfeksi oleh virus HIV hanya sediakit yang menderita sakit atau sama sekali tidak sakit, akan tetapi pada perjalanan beberapa orang pada perjalanan sakit dapat berlangsung dan berkembang menjadi AIDS yang full-blown.

Penelitian epidemiologis dari Afrika Sub-Sahara, Eropa, dan Amerika Utara menunjukkan bahwa terdapat sekitar empat kali lebih besar risiko terinfeksi virus HIV akibat adanya borok alat kelamin seperti yang disebabkan oleh sifilis dan chancroid. Hal ini terjadi karena tingkat seks bebas yang terjadi di daerah tersebut sangat tinggi. Umumnya yang banyak terinfeksi adalah kalangan remaja. Para remaja menganggap bahwa seks bebas adalah hal biasa. Namun sebenarnya mereka tidak menyadari bahwa perilaku tersebut akan mengancam masa depan mereka.
Virus HIV juga dapat menular melalui jarum suntik dalam fasilitas kesehatan. Hal ini dapat terjadi karena satu jarum suntik dipakai secara berulang-ulang. Hal ini biasanya banyak terjadi di Negara yang masih belum maju seperti Afrika Sub Sahara maupun Asia, karena sedikitnya sumber daya dan pelatihan yang tidak mencukupi. Menurut WHO 2,5% dari semua infeksi HIV di Afrika Sub Sahara ditransmisikan melalui suntikan pada fasilitas kesehatan yang tidak aman. Oleh sebab itu, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, didukung oleh opini medis umum dalam masalah ini, mendorong negara-negara di dunia menerapkan kewaspadaan universal untuk mencegah penularan HIV melalui fasilitas kesehatan. Lain halnya dengan remaja dengan pergaulan bebasnya, remaja yang pergaulannya bebas lebih banyak terinfeksi HIV, karena pada umumnya mereka senang memakai narkoba yang menggunakan jarum suntik. Jarum suntik yang dipakai hanya satu dan dipakai secara bergantian hal inilah yang menyebabkan besarnya penularan HIV/AIDS pada para remaja yang bergaul bebas.
Banyak orang tidak menyadari bahwa mereka terinfeksi virus HIV. Untuk mengetahui seseorang terinfeksi atau tidak harus dilakukan tes. Kurang dari 1% penduduk perkotaan di Afrika yang aktif secara seksual telah menjalani tes HIV, dan persentasenya bahkan lebih sedikit lagi di pedesaan. Selain itu, hanya 0,5% wanita mengandung di perkotaan yang mendatangi fasilitas kesehatan umum untuk memperoleh bimbingan tentang AIDS, menjalani pemeriksaan, atau menerima hasil tes mereka. Angka ini bahkan lebih kecil lagi di fasilitas kesehatan umum pedesaan. Dengan demikian, darah dari para pendonor dan produk darah yang digunakan untuk pengobatan dan penelitian medis, harus selalu diperiksa kontaminasi HIV-nya. Dari data tersebut penduduk di perkotaan Afrika lebih sering melakukan tes HIV maka warga perkotaan di Afrika akan mengetahui lebih dini apakah mereka terinfeksi HIV atau tidak dibanding warga perdesaan.
Permasalahan yang diutarakan Anwar dalam masalah HIV/AIDS di Kalbar, bisa dilihat dari berbagai data yang ada. Salah satunya data dari Dinas Kesehatan Kalimantan Barat per Desember 2006. Berdasar data itu, penduduk terinveksi HIV (Human Immunodeficiency Virus) positif di Kota Pontianak, sebanyak 401 jiwa. Kabupaten Pontianak, 90 jiwa. Singkawang, 295 jiwa. Sambas, 43 jiwa. Bengkayang, 5 jiwa. Sanggau, 7 jiwa. Sintang, 3 jiwa. Kapuas Hulu, 2 jiwa. Ketapang, 14 jiwa. Satu daerah yang tidak terindikasi HIV/AIDS adalah Kabupaten Landak. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kota Pontianak 2005, jumlah penduduk di Pontianak, 521.369 jiwa. Penduduk ini terdiri dari 263.348 laki-laki, dan 258.021 perempuan. Dari angka itu, jumlah orang yang masuk tahap AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome), di Kota Pontianak terdapat 234 jiwa. Kabupaten Pontianak, 37 jiwa. Singkawang, 253 jiwa. Sambas, 9 jiwa. Bengkayang, 8 jiwa. Landak, 6 jiwa. Sanggau, 2 jiwa. Sintang, 3 jiwa. Kapuas Hulu, 3 jiwa dan Ketapang 4 jiwa. Data tersebut diperoleh berdasarkan hasil test, yang dilakukan atas kesadaran sendiri. Dari jumlah itu, warga negara Indonesia yang terdata HIV positif di Kalbar, 762 jiwa. Tahap AIDS sebanyak 237 jiwa. Warga negara asing yang terinfeksi HIV sebanyak 49 jiwa dan AIDS sebanyak 3 jiwa.
Perlu diketahui bahwa HIV menular melalui cairan tubuh, seperti melakukan hubungan seksual dengan penderita HIV dan penggunaan jarum suntik yang tidak bersih atau yang tercemar virus HIV. Oleh karena itu berikut ini akan diuraikan beberapa faktor penyebab penularan virus HIV di kalangan remaja.

1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah tingginya tingkat penularan virus HIV dikalangan remaja.

1.3 Tujuan
Makalah ini disusun bertujuan untuk memberikan informasi kepada para remaja,tokoh masyarakat serta petugas kesehatan tentang tingginya tingkat penularan virus HIV di kalangan remaja serta faktor-faktor penyebab penularannya, sehingga tingkat penularan virus HIV dapat diminimalisir.

















BAB II
REVIEW LITERATUR
Virus HIV
(human immunodeficiency virus) adalah sebuah retrovirus yang menginfeksi sel sistem kekebalan tubuh manusia - terutama Sel T CD4+ dan makrofaga, komponen vital dari sistem sistem kekebalan tubuh "tuan rumah" - dan menghancurkan atau merusak fungsi mereka. Infeksi dari HIV menyebabkan pengurangan cepat dari sistem kekebalan tubuh, yang menyebabkan kekurangan imun. HIV merupakan penyebab dasar AIDS. (Reeves and Doms, 2002).
HIV singkatan dari “Human Immunodeficiency Virus”. Virus ini adalah virus yang diketahui menjadi penyebab AIDS [Acquired Immune Deficiency Syndrome]. Jika seseorang positif HIV, ini berarti mereka terinfeksi virus tersebut. Seseorang yang terinfeksi dengan HIV tidak mempunyai AIDS selama virus tersebut secara serius merusak sistem kekebalan, membuat mereka lemah/mudah terserang infeksi, beberapa di antaranya menyebabkan kematian.(Fajar, 2004).

Faktor-faktor Penularan Virus HIV
Dari menurut survei dari CDC 2003 menyebutkan faktor yang pertama yaitu banyak orang muda mulai melakukan hubungan seksual di usia dini: 47% dari siswa SMA telah melakukan hubungan seksual, dan 7,4% dari mereka melaporkan hubungan seksual pertama sebelum usia 13. HIV / AIDS perlu pendidikan berlangsung di Sejalan usia muda, sebelum orang-orang muda terlibat dalam perilaku seksual yang menempatkan mereka berisiko terinfeksi HIV. Para pemuda sekarang lebih memilih melakukan hubungan seksual secara bebas tanpa menggunakan kondom. Mereka hanya ingin memuaskan nafsu belaka. Faktor yang kedua adalah penyalahgunaan zat. Kaum muda di Amerika Serikat menggunakan alkohol, tembakau, dan obat-obatan lainnya di tingkat tinggi . Kedua substansi pengguna kasual dan kronis lebih mungkin untuk terlibat dalam perilaku berisiko tinggi, seperti seks tanpa kondom, ketika mereka berada di bawah pengaruh obat-obatan. Melarikan diri dan orang lain tunawisma muda berisiko tinggi untuk terinfeksi HIV jika mereka bertukar seks untuk narkoba atau uang. Faktor yang ketiga adalah kurangnya kesadaran dari pemuda itu sendiri. Penelitian telah menunjukkan bahwa sebagian besar orang muda tidak peduli mengenai terinfeksi HIV. Remaja membutuhkan informasi yang akurat, sesuai dengan usia tentang infeksi HIV dan AIDS, termasuk bagaimana berbicara dengan orang tua mereka atau orang dewasa terpercaya lainnya tentang HIV dan AIDS, bagaimana untuk mengurangi atau menghilangkan faktor risiko, bagaimana berbicara dengan calon pasangan tentang faktor risiko, di mana untuk diuji HIV, bagaimana menggunakan kondom dengan benar. Informasi juga harus mencakup konsep bahwa puasa adalah hanya 100% cara efektif untuk menghindari infeksi. Faktor yang keempat adalah kemiskinan dan pemuda out-of-sekolah. Hampir 1 dari 4 orang Amerika Afrika dan 1 dari 5 Hispanik hidup dalam kemiskinan . Masalah-masalah sosial-ekonomi yang terkait dengan kemiskinan, termasuk kurangnya akses keperawatan kesehatan berkualitas tinggi, dapat secara langsung atau tidak langsung meningkatkan risiko infeksi HIV. Kaum muda yang putus sekolah cenderung menjadi aktif secara seksual di usia muda dan gagal untuk menggunakan. Faktor yang kelima adalah kedatangan anak berumur HIV-positif. Banyak anak muda yang tertular HIV melalui transmisi perinatal menghadapi keputusan tentang menjadi aktif secara seksual. Mereka akan memerlukan konseling yang berkelanjutan dan pendidikan pencegahan untuk memastikan bahwa mereka tidak menularkan HIV.(CDC,2003)
Setiap orang dapat terserang HIV melalui hubungan seks tanpa pelindung dengan orang pengandung virus sebab terjadi kontak intim dengan darah, semen atau getah vagina orang tersebut. (Dharma, 1987). Jadi intinya jika seseorang yang akan melakukan hubungan intim sebaiknya harus menggunakan pelindung, seperti kondom. Ini akan mencegah penularan virus HIV.
Menurut survey dari Dr.Nafsiah Mboi SpA.MPH, seks bebas yang menjadi penyebab utama HIV dengan 55 persen yang sudah terinfeksi HIV karena seks bebas yaitu meliputi 48,4 persen akibat seks bebas secara heteroseksual (beda jenis), 3.7 persen akibat seks bebas secara homoseksual (sesanma jenis) dan sisanya akibat penularan dari ibu ke bayi. (Mboi, 2009). Dari hasil survey diatas dapat disimpulkan bahwa penularan HIV yang paling besar adalah seks bebas.


Salah satu yang mempengaruhi penularan virus HIV timbul karena prilaku seks bebas dengan penderita terbanyak termasuk hubungan heteroseksual, homoseksual, dan biseksual kasus HIV akibat seks bebas meningkat mencapai 4.548 kasus. (Dorangi, 2009). Dari hasil penelitian Dr. Raflus Dorangi diatas heteroseksual, homoseksual, dan biseksual adalah kasus yang paling tinggi bahkan kasus tersebut meningkat.
Penularan dapat terjadi pada masa perinatal. Transmisi HIV dari ibu ke anak dapat terjadi melalui rahim (in utero) selama masa perinatal, yaitu minggu-minggu terakhir kehamilan dan saat persalinan. Bila tidak ditangani, tingkat penularan dari ibu ke anak selama kehamilan dan persalinan adalah sebesar 25%. Namun demikian, jika sang ibu memiliki akses terhadap terapi antiretrovirus dan melahirkan dengan cara bedah caesar, tingkat penularannya hanya sebesar 1%. Sejumlah faktor dapat memengaruhi risiko infeksi, terutama beban virus pada ibu saat persalinan (semakin tinggi beban virus, semakin tinggi risikonya). Menyusui meningkatkan risiko penularan sebesar 4%.(Wikipedia, 2008)
Penularan melalui produk darah secara teori dapat saja terjadi, namun pada kenyataannya prosentasenya sangat kecil. Setelah seseorang terinfeksi HIV, HIV akan “bersembunyi” di dalam sel darah putih, terutama sel-sel limfosit T4. Selama terinfeksi, sel limfosit T4 menjadi wahana perkembangbiakan HIV. (Aspandi, 2007). “Fase ini disebut “Stadium Inkubasi”, pada fase ini orang tersebut tidak memperlihatkan gejala-gejala walaupun jumlah HIV semakin banyak dan semakin menggerogoti kekebalan tubuhnya. Fase ini berlangsung selama lebih kurang 5 – 10 tahun. Jika dilakukan tes antibodi untuk mengetahui keberadaan HIV, hasilnya akan negatif tapi ia sudah dapat menularkan HIV kepada orang lain. Fase berikutnya adalah Periode Jendela (Window Period). Pada fase ini jika dilakukan tes antibodi, hasilnya sudah menunjukkan positif. Hal ini berarti di dalam tubuh sudah terdapat zat anti yang dapat melawan HIV. Adanya zat anti ini bukan berarti tubuh dapat melawan infeksi HIV tetapi hal ini menunjukkan bahwa di dalam tubuh terdapat HIV. Fase ini berlangsung selama 1 – 6 bulan.
Bahaya narkoba berdampak pada kesehatan dan berakibat fatal. Dimana penyalahgunaan narkoba dengan menggunakan jarum suntik secara bergiliran dapat menimbulkan penularan HIV/AIDS. Tidak dapat disangkal lagi, bahwa kasus penyalahgunaan narkoba ini begitu kompleks, ancamannya juga begitu berat terhadap berbagai aspek kehidupan serta masa depan bangsa. Karena itulah dalam mengatasi narkoba harus mengarahkan segala kemampuan dan segenap potensi dari seluruh lapisan masyarakat untuk mencegah dan memerangi narkoba sampai keakar-akarnya. Dimana para orang tua juga harus ketat mengawasi dan menjaga anak-anaknya dari ancaman narkoba, apalagi saat sekarang anak usia dini juga dibayangi ancaman narkoba. Lebih lanjut dipaparkan, penyalahgunaan dan ketergantungan narkoba menimbulkan dampak serius terhadap kesehatan fisik dan mental pelakunya. Gangguan fungsi sampai kepada tidak berfungsinya dan kerusakan serius organ vital, otak, jantung, ginjal, paru-paru dan hati serta gangguan mental yang menimbulkan penderitaan berkepanjangan dan berujung kepada kematian. (Yahya, 2007).
Data yang menunjukan bahwa penderita yang diperkirakan tertular HIV lewat transfusi darah di Autralia sampai februari 1988 sebanyak 5,5% dan di AS sampai desember 1987 sedangkan yang tertular lewat produk darah pada penderita hemofilia, masing-masing 1,0% dan 0,9% dalam jangka waktu yang lama. Sesudah tahun 1985 penularan HIV melalui jalur ini terutama dinegara barat sangat jarang, karena darah donor telah diperiksa sebelum ditransfusikan. Demikian pula penulatran lewat produk darah tidak terjadi lagi, karena produk ini dibuat sedemikian rupa sehingga bebas HIV. Disamping itu ada kecendrungan orang-orang yang termasuk kelompok risiko tinggi untuk tidak menjadi donor darah mungkin kesadaran mereka sendiri atau karena adanya peraturan tertentu yang harus diikuti sebelum menjadi donor darah. Sebagai contoh, di australia sejak tahun 1985 telah diperiksa sebanyak 2,7 juta donor darah hanya 20 orang yang positif HIV. Dari segi risiko penularan HIV lewat jalur transfusi darah ternyata cukup tinggi lebih dari 90%. (Suesen, 1990).
Seseorang dapat memperoleh virus dari transfusi darah bila donornya terinfeksi, di inggris hal ini relatif jarang terjadi karena semua donor darah diperiksa apakah terinfeksi HIV atau tidak. (Dharma, 1987). Seseorang terinfeksi virus HIV melalui transfusi darah kebanyakan didaerah yang fasilitas kesehatan belum maju, seperti Indonesia dan Afrika.





BAB III
PEMBAHASAN

Seperti dikatakan oleh Celia Lescano, PhD dengan Bradley Hasbro Children's Research Center dan The Warren Alpert Medical School of Brown University, bahwa konstelasi masalah perilaku adalah hal yang benar-benar kita coba untuk hindari. Jadi, mengidentifikasi dari awal bahwa seorang remaja terlibat dalam perilaku berisiko dapat mencegah perilaku yang menjadi pintu gerbang menuju perilaku berisiko lebih lanjut.
Salah satu perilaku beresiko yang dilakukan remaja adalah perilaku seks bebas. Perilaku ini dapat menyebabkan penularan virus HIV. Seks bebas berawal dari penggunaan zat adiktif. Zat ini mengganggu psikologi seseorang, sehingga seseorang tidak dapat mengontrol perilaku seks. Sehingga seorang remaja sangat ingin melakukan hubungan seks. Hubungan seks yang dilakukan remaja kadang tidak terkontrol, sehingga perilaku seks yang dilakukan oleh remaja cendrung secara bergantian jadi tingkat penularan virus HIV sangat besar. Perilaku seks seperti ini disebut heteroseksual. Perilaku seks ini kalau dipandang secara kesehatan sangat tidak baik, hal ini disebabkan perilaku ini dapat menularkan virus HIV. Kadang perilaku heteroseksual dianggap biasa, jadi untuk meminimalisir tingkat penularan HIV pada remaja sangat sulit. Perilaku seks yang dilakukan remaja biasanya dilakukan lewat oral dan anal, dari situlah virus HIV dapat menular, yaitu melalui pertukaran cairan tubuh. Misalkan pemuda A terjangkiti virus HIV dan melakukan hubungan seksual dengan pemuda B, dari kasus diatas antara pemuda A dan B telah melakukan transfer cairan. Pemuda A yang terjangkiti virus HIV menularkannya ke pemuda B, jadi pemuda B terjangkiti virus HIV. Sehingga penyebaran virus HIV pun di mulai.
Perilaku beresiko lainnya adalah penggunaan narkoba yang menggunakan jarum suntik yang dipakai secara bergantian. Perilaku ini adalah penyebab terbesar penularan HIV pada remaja. Remaja yang hanya memikirkan rasa enak yang tidak memikirkan akibat yang dilakukannya akan melakukan perilaku ini. Jarum suntik yang dipakai untuk memakai narkoba. Tingkat perilaku ini kalau di perkotaan sangat tinggi sehingga tingkat kematian di kalangan remaja sangat tinggi. Jarum suntik yang telah dipakai yang mungkin berasal dari penderita HIV kemudian dipakai oleh para pecandu yang lain sehingga penularan pun terjadi. Penularan dari alat suntik sangat sulit diminimalisir. Hal ini para pemuda yang sudah menyentuh narkoba tidak bisa di kembalikan. Bahkan untuk meminimalisir pun sangat tidak mungkin. Yang ada hanya akan memperbanyak tingkat kematian dari penderita HIV. Tingkat penularan HIV ini kadang tidak dapat di tafsir, karena tingkat penularan HIV melalui jarum suntik sangat tinggi. Sudah dijelaskan tadi penularan HIV lewat cairan tubuh, begitu juga dengan penggunaan jarum suntik yang dipakai secara bergantian. Darah adalah salah satu cairan tubuh yang rentan terhadap penularan virus HIV.



















BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Dari makalah ini dapat diambil suatu kesimpulan bahwa penularan HIV itu dapat terjadi dengan berbagai cara. Penularan virus HIV itu dipengaruhi oleh pergaulan bebas dan penggunaan jarum suntik yang dipakai secara bergantian. Penularan virus HIV dikalangan remaja sulit dikurangi jadi sebaiknya penularan virus HIV harus dicegah. Kasus yang paling banyak muncul adalah disebabkan oleh seks bebas.

4.2 Saran
Seharusnya para orang tua dapat mengontrol pergaulan anaknya sehari-hari. Agar anak-anak tidak terjerumus kedalam pergaulan bebas. Serta untuk para tokoh masyarakat agar mengambil andil dalam pencegahan penularan virus HIV.










DAFTAR PUSTAKA

Fahmi Daili Syaiful.1990. Standarisasi Diagnostik dan Penatalaksanaan Penyakit Menular Seksual (PMS). Fakultas Kedokteran UI: Jakarta.
HIV/AIDS dan gejalanya, Wikipedia (http://www.wikipedia-aids.com.html, didapat tanggal 22 Mei 2010)
HIV/AIDS Pada Remaja, Mentri Kesehatan Republik Indonesia (http://www.cdc.gov/hiv/resources/factsheets/youth.htm didapat pada tanggal 17 Mei 2010)
Holmes, C. B., Losina, E., Walensky, R. P., Yazdanpanah, Y., Freedberg, K. A. (2003). "Review of human immunodeficiency virus type 1-related opportunistic infections in sub-Saharan Africa". Clin. Infect. Dis
Palella, F. J. Jr, Delaney, K. M., Moorman, A. C., Loveless, M. O., Fuhrer, J., Satten, G. A., Aschman and D. J., Holmberg, S. D. (1998). "Declining morbidity and mortality among patients with advanced human immunodeficiency virus infection. HIV Outpatient Study Investigators". N. Engl. J. Med 338
Penularan Tertinggi Virus HIV/AIDS Melalui Jarum Suntik, Berita Jakarta (http://www.beritajakarta.com/NewsView.asp?ID=23102.html, diperoleh 22 Mei 2010)
Sikap remaja menghadapi HIV/AIDS, Aspandi (http://omqm.blogspot.com/2007/07/sikap-remaja-menghadapi-hivaids.html, didapat tanggal 20 Mei 2010)

TRANSKULTURAL NURSING

Konsep dasar transkultural keperawatan
1. Budaya adalah norma atau tindakan dari anggota kelompok yang dipelajari, dibagi serta member petunjuk dalam berfikir, bertindak dan mengambil keputusan.
2. Nilai budaya adalah keinginan individu atau tindakan yang lebih diinginkan atau sesuatu tindakan yang dipertahankan pada suatu waktu tertentu dan melandasi tindakan dan keputusan.
3. Perbedaan budaya dalam asuhan keperawatan merupakan bentuk yang optimal dari pemberian asuhan keperawatan, mengacu pada kemungkinan variasi pendekatan keperawatan yang dibutuhkan untuk memberikan asuhan budaya yang menghargai nilai budaya individu, kepercayaan dan tindakan termasuk kepekaan terhadap lingkungan dari individu yang datang individu yang mungkin kembali lagi.
4. Etnosentris adalah persepsi yang dimiliki oleh individu yang menganggap bahwa budayanya adalah yang terbaik diantara budaya-budaya yang dimiliki oleh orang lain.
5. Etnis berkaitan dengan manusia dari ras tertentu untuk kelompok budaya yang digolongkan menurut ciri-ciri dan kebiasaan yang lazim.
6. Ras adalah perbedaan macam-macam manusia didasarkan pada mendiskreditkan asal muasal manusia.
7. Etnografi adalah ilmu yang mempelajari budaya, pendekatan metodologi pada penelitian etnografi memungkinkan perawat untuk mengembangkan kesadaran yang tinggi pada perbedaan budaya setiap individu, menjelaskan dasar observasi untuk mempelajari lingkungan dan orang-orang, dan saling memberikan timbale balik diantara keduanya.
8. Care adalah fenomena yang berhubungan dengan bimbingan, bantuan, dukungan perilaku pada individu, keluarga, kelompok dengan adanya kejadian untuk memenuhi kebutuhan baik actual maupun potensial untuk meningkatkan kondisi dan kualitas kehidupan manusia.
9. Caring adalah tindakan langsung yang diarah untuk membimbing, medukung dan mengarahkan individu, keluarga atau kelompok pada kenyataan yang nyata atau antisipasi kebutuhan untuk meningkatkan kondisi kehidupan manusia.
10. Cultural care berhubungan dengan kemampuan kognitif untuk mengetahui nilai. Kepercayaan dan pola ekspresi yang digunakan untuk membimbing, memdukug atau memberi kesempatan individu, keluarga atau kelompok untuk mempertahankan kesehatan, sehat, berkembang, dan bertahan hidup, hidup dalam keterbatasan dan mencapai kematian dengan damai.
11. Cultural imposition berhubungan dengan kecenderungan tenaga kesehatan untuk memaksakan kepercayaan, praktik dan nilai diatas budaya orang lain karena percaya bahwa ide yang dilimiki oleh perawat lebih tinggi dari pada kelompok lain.

Teori transkultural keperawatan
Tuntutan kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan pada abad ke-21,termasuk tuntutan terhadap asuhan keperawatan yang berkualitas akan semakinbesar. Dengan adanya globalisasi, dimana perpindahan penduduk antar negara(imigrasi) dimungkinkan, menyebabkan adaya pergeseran terhadap tuntutanasuhan keperawatan.Keperawatan sebagai profesi memiliki landasan body of knowledge yang kuat,yang dapat dikembangkan serta dapat diaplikasikan dalam praktek keperawatan.Perkembangan teori keperawatan terbagi menjadi 4 level perkembangan yaitumetha theory, grand theory, midle range theory dan practice theory. Salah satu teori yang diungkapkan pada midle range theory adalah Transcultural Nursing Theory. Teori ini berasal dari disiplin ilmu antropologi dan dikembangkan dalam konteks keperawatan. Teori ini menjabarkan konsep keperawatan yang didasari oleh pemahaman tentang adanya perbedaan nilai-ni90lai kultural yang melekat dalam masyarakat. Leininger beranggapan bahwa sangatlah
penting memperhatikan keanekaragaman budaya dan nilai-nilai dalam penerapan asuhan keperawatan kepada klien. Bila hal tersebut diabaikan oleh perawat, akan mengakibatkan terjadinya cultural shock.
Cultural shock akan dialami oleh klien pada suatu kondisi dimana perawat tidak mampu beradaptasi dengan perbedaan nilai budaya dan kepercayaan. Hal ini dapat menyebabkan munculnya rasa ketidaknyamanan, ketidakberdayaan dan beberapa mengalami disorientasi. Salah satu contoh yang sering ditemukan adalah ketika klien sedang mengalami nyeri. Pada beberapa daerah atau Negara diperbolehkan seseorang untuk mengungkapkan rasa nyerinya dengan berteriakatau menangis. Tetapi karena perawat memiliki kebiasaan bila merasa nyeri hanya
dengan meringis pelan, bila berteriak atau menangis akan dianggap tidak sopan, maka ketika ia mendapati klien tersebut menangis atau berteriak, maka perawat akan memintanya untuk bersuara pelan-pelan, atau memintanya berdoa atau malah memarahi pasien karena dianggap telah mengganggu pasien lainnya. Kebutaan budaya yang dialami oleh perawat ini akan berakibat pada penurunan kualitas pelayanan keperawatan yang diberikan.

Element cultural assessment and strategy for multicultur in nursing practice(penilaian Elemen budaya dan strategi untuk multicultur dalam praktek keperawatan)
Acceptance by the nursing community and creating a multicultur(Penerimaan oleh komunitas keperawatan dan menciptakan sebuah multicultur)
Critical thinking in transkep
Ketika seorang perawat yang dihadapkan dengan klien yang berbeda budaya, maka perawat professional tetap memberikan asuhan keperawatan yang tinggi, demi terpenuhinya kebutuhan dasar klien tersebut. Perawat professional akan berfikir kritis dalam menangani hal tersebut. Tuntutan kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan pada abad ke-21, termasuk tuntutan terhadap asuhan keperawatan yang berkualitas akan semakin besar. Dengan adanya globalisasi, dimana perpindahan penduduk antar Negara (imigrasi) dimungkinkan, menyebabkan adaya pergeseran terhadap tuntutan asuhan keperawatan.
Leininger beranggapan bahwa sangatlah penting memperhatikan keanekaragaman budaya dan nilai-nilai dalam penerapan asuhan keperawatan kepada klien. Bila hal tersebut diabaikan oleh perawat, akan mengakibatkan terjadinya cultural shock. Cultural shock akan dialami oleh klien pada suatu kondisi dimana perawat tidak mampu beradaptasi dengan perbedaan nilai budaya dan kepercayaan. Hal ini dapat menyebabkan munculnya rasa ketidaknyamanan, ketidakberdayaan dan beberapa mengalami disorientasi. Salah satu contoh yang sering ditemukan adalah ketika klien sedang mengalami nyeri. Pada beberapa daerah atau Negara diperbolehkan seseorang untuk mengungkapkan rasa nyerinya dengan berteriak atau menangis. Tetapi karena perawat memiliki kebiasaan bila merasa nyeri hanya dengan meringis pelan, bila berteriak atau menangis akan dianggap tidak sopan, maka ketika ia mendapati klien tersebut menangis atau berteriak, maka perawat akan memintanya untuk bersuara pelan-pelan, atau memintanya berdoa atau malah memarahi pasien karena dianggap telah mengganggu pasien lainnya. Kebutaan budaya yang dialami oleh perawat ini akan berakibat pada penurunan kualitas pelayanan keperawatan yang diberikan.
Transcultural Nursing adalah suatu area/wilayah keilmuwan budaya pada proses belajar dan praktek keperawatan yang fokus memandang perbedaan dan kesamaan diantara budaya dengan menghargai asuhan, sehat dan sakit didasarkan pada nilai budaya manusia, kepercayaan dan tindakan, dan ilmu ini digunakan untuk memberikan asuhan keperawatan khususnya budaya atau keutuhan budaya kepada manusia (Leininger, 2002). Untuk memahami perbedaan budaya yang ada maka perawat perlu berpikir secara kritis. Dalam berpikir kritis seorang perawat harus bisa menyeleksi kebudayaan mana yang sesuai dengan kesehatan atau yang tidak menyimpang dari kesehatan. Jika perawat dapat memahami perbedaan budaya maka akan bisa meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dari perawat.
Budaya shock adalah kecemasan dan perasaan (dari kejutan, disorientasi, ketidakpastian, kebingungan, dll) merasa ketika orang harus beroperasi dalam budaya yang berbeda dan tidak dikenal seperti satu mungkin terjadi di negara asing. Ini tumbuh dari kesulitan dalam asimilasi budaya baru, menyebabkan kesulitan dalam mengetahui apa yang sesuai dan apa yang tidak. Hal ini sering digabungkan dengan atau bahkan tidak suka untuk jijik (moral atau estetika) dengan aspek-aspek tertentu dari kebudayaan baru atau berbeda.

Transkep research
Transkultural Nursing Research adalah teori berdasarkan disiplin humanistik, yang dirancang untuk melayani individu, organisasi, masyarakat, dan masyarakat. Manusia perawatan/kepedulian didefinisikan dalam konteks budaya. Budaya peduli kompeten hanya dapat terjadi ketika nilai-nilai budaya perawatan dikenal dan melayani sebagai dasar untuk perawatan yang berarti. Misi Transkultural Nursing Research adalah untuk meningkatkan kualitas budaya kongruen, kompeten, dan adil peduli bahwa hasil dalam meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan orang di seluruh dunia. Visi Transkultural Nursing Research berusaha untuk memberikan perawat dan perawatan kesehatan profesional lainnya dengan basis pengetahuan yang diperlukan untuk memastikan kompetensi dalam praktek budaya, pendidikan, penelitian, dan administrasi.
Tujuan Transkultural Nursing Research:
• Untuk memajukan kompetensi budaya untuk perawat di seluruh dunia
• Untuk memajukan beasiswa (pengetahuan substantif) dari disiplin
• Untuk mengembangkan strategi untuk advokasi perubahan sosial budaya yang kompeten untuk perawatan
• Untuk mempromosikan non-profit korporasi keuangan suara

Senin, 14 Juni 2010

PENERAPAN BERPIKIR KRITIS DALAM TRANSKULTURAL KEPERAWATAN

PENERAPAN BERPIKIR KRITIS DALAM TRANSKULTURAL KEPERAWATAN

Oleh : Darul Muttaqin

A. Makna Berpikir Kritis

Kemampuan berpikir kritis merupakan kemampuan yang sangat esensial untuk kehidupan, pekerjaan, dan berfungsi efektif dalam semua aspek kehidupan lainnya. Berpikir kritis telah lama menjadi tujuan pokok dalam pendidikan sejak 1942. Menurut Halpen (1996), berpikir kritis adalah memberdayakan keterampilan atau strategi kognitif dalam menentukan tujuan. Proses tersebut dilalui setelah menentukan tujuan, mempertimbangkan, dan mengacu langsung kepada sasaran-merupakan bentuk berpikir yang perlu dikembangkan dalam rangka memecahkan masalah, merumuskan kesimpulan, mengumpulkan berbagai kemungkinan, dan membuat keputusan ketika menggunakan semua keterampilan tersebut secara efektif dalam konteks dan tipe yang tepat. Berpikir kritis juga merupakan kegiatan mengevaluasi-mempertimbangkan kesimpulan yang akan diambil manakala menentukan beberapa faktor pendukung untuk membuat keputusan. Berpikir kritis juga biasa disebut directed thinking, sebab berpikir langsung kepada fokus yang akan dituju. Pendapat senada dikemukakan Anggelo (1995: 6), berpikir kritis adalah mengaplikasikan rasional, kegiatan berpikir yang tinggi, yang meliputi kegiatan menganalisis, mensintesis, mengenal permasalahan dan pemecahannya, menyimpulkan, dan mengevaluasi.

Penekanan kepada proses dan tahapan berpikir dilontarkan pula oleh Scriven, berpikir kritis yaitu proses intelektual yang aktif dan penuh dengan keterampilan dalam membuat pengertian atau konsep, mengaplikasikan, menganalisis, membuat sistesis, dan mengevaluasi. Semua kegiatan tersebut berdasarkan hasil observasi, pengalaman, pemikiran, pertimbangan, dan komunikasi, yang akan membimbing dalam menentukan sikap dan tindakan (Walker, 2001: 1). Pernyataan tersebut ditegaskan kembali oleh Angelo (1995: 6), bahwa berpikir kritis harus memenuhi karakteristik kegiatan berpikir yang meliputi : analisis, sintesis, pengenalan masalah dan pemecahannya, kesimpulan, dan penilaian.

Matindas Juga mengungkapkan bahwa banyak orang yang tidak terlalu membedakan antara berpikir kritis dan berpikir logis padahal ada perbedaan besar antara keduanya yakni bahwa berpikir kritis dilakukan untuk membuat keputusan sedangkan berpikir logis hanya dibutuhkan untuk membuat kesimpulan. Pemikiran kritis menyangkut pula pemikiran logis yang diteruskan dengan pengambilan keputusan. Dari pendapat-pendapat di atas dapat dikatakan bahwa berpikir kritis itu melipuri dua langkah besar yakni melakukan proses berpikir nalar (reasoning) yang diikuti dengan pengambilan keputusan/ pemecahan masalah (deciding/problem solving). Dengan demikian dapat pula diartikan bahwa tanpa kemampuan yang memadai dalam hal berpikir nalar (deduktif, induktif dan reflektif), seseorang tidak dapat melakukan proses berpikir kritis secara benar.

B. Karakter Berpikir Kritis

Berpikir kritis adalah kunci menuju berkembangnya kreativitas. Ini dapat diartikan bahwa awal munculnya kreativitas adalah karena secara kritis kita melihat fenomena-fenomena yang kita lihat dengar dan rasakan maka akan tampak permasalahan yang kemudian akan menuntut kita untuk berpikir kreatif. Karakteristik yang berhubungan dengan berpikir kritis, dijelaskan Beyer (1995: 12-15) secara lengkap dalam buku Critical Thinking, yaitu:

1. Watak

Seseorang yang mempunyai keterampilan berpikir kritis mempunyai sikap skeptis, sangat terbuka, menghargai sebuah kejujuran, respek terhadap berbagai data dan pendapat, respek terhadap kejelasan dan ketelitian, mencari pandangan-pandangan lain yang berbeda, dan akan berubah sikap ketika terdapat sebuah pendapat yang dianggapnya baik.

2. Kriteria

Dalam berpikir kritis harus mempunyai sebuah kriteria. Untuk sampai ke arah sana maka harus menemukan sesuatu untuk diputuskan atau dipercayai. Meskipun sebuah argumen dapat disusun dari beberapa sumber pelajaran, namun akan mempunyai kriteria yang berbeda. Apabila kita akan menerapkan standarisasi harus berdasarkan kepada relevansi, keakuratan fakta-fakta, berlandaskan sumber yang kredibel, teliti, bebas dari logika yang keliru, logika yang konsisten, dan pertimbangan yang matang.

3. Argumen

Argumen merupakan suatu pernyataan atau proposisi yang dilandasi atau berdasarkan noleh data-data. Keterampilan berpikir kritis akan meliputi hal-hal sepertikegiatan pengenalan, dan penilaian, serta menyusun argumen.

4. Pertimbangan atau pemikiran

Yaitu kemampuan untuk merangkum kesimpulan dari satu atau beberapa premis. Prosesnya akan meliputi kegiatan menguji hubungan antara beberapa pernyataan atau data.

5. Sudut pandang

Sudut pandang adalah cara memandang atau menafsirkan dunia ini, yang akan menentukan konstruksi makna. Seseorang yang berpikir dengan kritis akan memandang sebuah fenomena dari berbagai sudut pandang yang berbeda.

6. Prosedur penerapan kriteria

Prosedur penerapan berpikir kritis sangat kompleks dan prosedural. Prosedur tersebut akan meliputi merumuskan permasalahan, menentukan keputusan yang akan diambil.

Langkah-langkah dalam berpikir kritis

1. Mengenali masalah (defining and clarifying problem) meliputi mengidentifikasi isu-isu atau permasalahan pokok, membandingkan kesamaan dan perbedaan-perbedaan, memilih informasi yang relevan, merumuskan masalah.

2. Menilai informasi yang relevan yang meliputi menyeleksi fakta maupun opini, mengecek konsistensi, mengidentifikasi asumsi, mengenali kemungkinan emosi maupun salah penafsiran kalimat, mengenali kemungkina perbedaan orientasi nilai dan ideologi.

3. Pemecahan masalah atau penarikan kesimpulan yang meliputi mengenali data-data yang diperlukan dan meramalkan konsekuensi yang mungkin terjadi dari keputusan/pemecahan masalah/kesimpulan yang diambil.

C. Berpikir Kritis Dalam Keperawatan

Berfikir meliputi proses yang tidak statis, berubah setiap saat. Berfikir kritis dalam keperawatan adalah komponen dasar dalam pertanggunggugatan profesional dan kualitas asuhan keperawatan. Berpikir kritis merupakan jaminan yang terbaik bagi perawat mencapai sukses dalam berbagai aktifitas dan merupakan suatu penerapan profesionalisme serta pengetahuan tekhnis atau keterampilan tekhnis dalam memberikan asuhan keperawatan.

Proses berpikir kritis meliputi memahami, mengevaluasi, mempertanyakan maupun menjawab, membangun pertanyaan yang merupakan pemicu proses berkelanjutan untuk mencari jawaban dngan kemungkinan ada jawaban atau tidak terdapat jawaban.
Ada 4 hal pokok penerapan berfikir kritis dalam keperawatan, yaitu:

1. Penggunaan bahasa dalam keperawatan

Berfikir kritis adalah kemampuan menggunakan bahasa secara reflektif. perawat menggunakan bahasa verbal dan nonverbal dalam mengekspresikan idea, fikiran, info, fakta, perasaan, keyakinan dan sikapnya terhadap klien, sesama perawat, profesi. Secara nonverbal saat melakukan pedokumentasian keperawatan.

2. Argumentasi dalam keperawatan

Sehari-hari perawat dihadapkan pada situasi harus berargumentasi untuk menemukan, menjelaskan kebenaran, mengklarifikasi isu, memberikan penjelasan, mempertahankan terhadap suatu tuntutan/tuduhan. Badman and Badman (1988) argumentasi terkait dengan konsep berfikir dalam keperawatan berhubungan dengan situasi perdebatan, upaya untuk mempengaruhi individu ataupun kelompok.

3. Pengambilan keputusan dalam keperawatan

Sehari-hari perawat harus mengambil keputusan yang tepat.

4. Penerapan proses keperawatan

Perawat berfikir kritis pada setiap langkah proses keperawatan


a. Pengkajian: mengumpulkan data, melakukan observasi dalam pengumpulan data
berfikir kritis, mengelola dan mengkatagorikan data menggunakan ilmu-ilmu lain.
b. Perumusan diagnosa keperawatan: tahap pengambilan keputusan yang paling kritis, menentukan masalah dan dengan argumen yaitu secara rasional.
c. Perencanaan keperawatan: menggunakan pengetahuan untuk mengembangkan hasil yang diharapkan, keterampilan guna mensintesa ilmu yang dimiliki untuk memilih tindakan.

d. Pelaksanaan keperawatan: pelaksanaan tindakan keperawatan adalkah keterampilan dalam menguji hipotesa, tindakasn nyata yang menentukan tingkat keberhasilan.
e. Evaluasi keperawatan: mengkaji efektifitas tindakan, perawat harus dapat mengambil keputusan tentang pemenuhan kebutuhan dasar klien.

D. Penerapan Berpikir Kritis dalam Transkultural Keperawatan

Ketika seorang perawat yang dihadapkan dengan klien yang berbeda budaya, maka perawat professional tetap memberikan asuhan keperawatan yang tinggi, demi terpenuhinya kebutuhan dasar klien tersebut. Perawat professional akan berfikir kritis dalam menangani hal tersebut. Tuntutan kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan pada abad ke-21, termasuk tuntutan terhadap asuhan keperawatan yang berkualitas akan semakin besar. Dengan adanya globalisasi, dimana perpindahan penduduk antar Negara (imigrasi) dimungkinkan, menyebabkan adaya pergeseran terhadap tuntutan asuhan keperawatan.

Leininger beranggapan bahwa sangatlah penting memperhatikan keanekaragaman budaya dan nilai-nilai dalam penerapan asuhan keperawatan kepada klien. Bila hal tersebut diabaikan oleh perawat, akan mengakibatkan terjadinya cultural shock. Cultural shock akan dialami oleh klien pada suatu kondisi dimana perawat tidak mampu beradaptasi dengan perbedaan nilai budaya dan kepercayaan. Hal ini dapat menyebabkan munculnya rasa ketidaknyamanan, ketidakberdayaan dan beberapa mengalami disorientasi. Salah satu contoh yang sering ditemukan adalah ketika klien sedang mengalami nyeri. Pada beberapa daerah atau Negara diperbolehkan seseorang untuk mengungkapkan rasa nyerinya dengan berteriak atau menangis. Tetapi karena perawat memiliki kebiasaan bila merasa nyeri hanya dengan meringis pelan, bila berteriak atau menangis akan dianggap tidak sopan, maka ketika ia mendapati klien tersebut menangis atau berteriak, maka perawat akan memintanya untuk bersuara pelan-pelan, atau memintanya berdoa atau malah memarahi pasien karena dianggap telah mengganggu pasien lainnya. Kebutaan budaya yang dialami oleh perawat ini akan berakibat pada penurunan kualitas pelayanan keperawatan yang diberikan.

Transcultural Nursing adalah suatu area/wilayah keilmuwan budaya pada proses belajar dan praktek keperawatan yang fokus memandang perbedaan dan kesamaan diantara budaya dengan menghargai asuhan, sehat dan sakit didasarkan pada nilai budaya manusia, kepercayaan dan tindakan, dan ilmu ini digunakan untuk memberikan asuhan keperawatan khususnya budaya atau keutuhan budaya kepada manusia (Leininger, 2002). Untuk memahami perbedaan budaya yang ada maka perawat perlu berpikir secara kritis. Dalam berpikir kritis seorang perawat harus bisa menyeleksi kebudayaan mana yang sesuai dengan kesehatan atau yang tidak menyimpang dari kesehatan. Jika perawat dapat memahami perbedaan budaya maka akan bisa meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dari perawat.

Budaya shock adalah kecemasan dan perasaan (dari kejutan, disorientasi, ketidakpastian, kebingungan, dll) merasa ketika orang harus beroperasi dalam budaya yang berbeda dan tidak dikenal seperti satu mungkin terjadi di negara asing. Ini tumbuh dari kesulitan dalam asimilasi budaya baru, menyebabkan kesulitan dalam mengetahui apa yang sesuai dan apa yang tidak. Hal ini sering digabungkan dengan atau bahkan tidak suka untuk jijik (moral atau estetika) dengan aspek-aspek tertentu dari kebudayaan baru atau berbeda.